Pembelajaran istima’

Pembelajaran istima’

by: Hasan S

Dalam konteks pembelajaran bahasa Arab terdapat empat keterampilan dasar berbahasa yang harus dikuasai siswa, yaitu keterampilan menyimak (mahārat al-istimā’), keterampilan berbicara (mahārat al-kalām), keterampilan membaca (mahārat al-qirā’ah), dan keterampilan menulis (mahārat al-kitābah). Menyimak dan berbicara adalah dua keterampilan yang berkaitan dengan penggunaan bahasa Arab secara lisan, sedangkan membaca dan menulis adalah dua keterampilan yang berkaitan dengan penggunaan bahasa Arab aecara tulisan.

Selain keempat keterampilan di atas, ada aspek lain yang tidak kalah pentingnya dan ikut mempengaruhi ketercapaian tujuan pembelajaran bahasa Arab secara komprehensif. Aspek tersebut adalah unsur-unsur bahasa (al-anāshir al-lughawiyyah), yaitu fonologi (ashwat), morfologi (sharaf), sintaksis/Kalimat (nahwu), semantik (dalālah), dan kosakata (mufradāt).

Dilihat dari sisi bentuk komunikasi yang dilakukan, keterampilan menyimak (mahārat al-istimā’), merupakan salah satu bentuk keterampilan berbahasa yang diklasifikasikan sebagai keterampilan berbahasa pasif (reseptif), dimana salah satu pihak berperan sebagai pengirim pesan (pembicara/penutur), sedangkan pihak lain (dalam hal ini, si pendengar), berperan sebagai penerima pesan.

Keterampilan menyimak sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari keterampilan berbahasa lainnya, yaitu berbicara, membaca, dan menulis. Kompetensi seorang siswa dalam keterampilan menyimak dapat diketahui wujudnya dalam menyampaikan atau mengungkapkan informasi secara lisan atau menuangkannya dalam bentuk tulisan. Dalam kegiatan membaca, kita akan dengan mudah memahami bahan bacaan, jika isi bahan bacaan tersebut telah kita dengar sebelumnya, baik melalui pembelajaran formal maupun non formal. Demikian juga dalam kegiatan menuangkan gagasan lewat tulisan. Kita akan mampu dengan mudah melakukan aktivitas menulis, jika kita kaya informasi, baik yang diperoleh melaui kegiatan menyimak maupun melalui kegiatan membaca.

Dengan kata lain, keterampilan menyimak merupakan sarat mutlak berkembangnya aspek linguistis dan kognitif manusia dalam mengakses informasi, serta menjadi mediator dalam proses pemerolehan dan pengembangan keterampilan bahasa secara komprehensif.

Para peneliti baru-baru ini memberikan statement berkaitan dengan alokasi waktu yang dipergunakan manusia untuk berkomunikasi. Adapun hasil penelitian tersebut adalah sebagai berikut:

  1. dari jumlah total waktu yang dimiliki manusia, sebanyak 45% mereka gunakan untuk menyimak pembicaraan orang lain.
  2. dari jumlah total waktu yang dimiliki manusia, sebanyak 30% mereka gunakan untuk berbincang-bincang dengan orang lain.
  3. dari jumlah total waktu yang dimiliki manusia, sebanyak 25% mereka gunakan untuk kegiatan berbahasa lainnya, seperti membaca dan menulis[1].

Sedangkan hasil penelitian terhadap anak usia pendidikan dasar (SD) menyebutkan bahwa 50% dari waktu belajar siswa di sekolah digunakan untuk menyimak, sedangkan sisanya digunakan untuk kegiatan lainnya.

Hasil penelitian lain, seperti yang dilakukan seorang ahli Amerika Serikat,  Donald E Bird dalam Djago Tarigan[2] (1986:48) menunjukan bahwa kegiatan menyimak mahasiswa Stephen College Girls adalah  42% untuk kegiatan menyimak,  25%  kegiatan berbicara, 15% kegiatan membaca, dan  18% untuk kegiatan menulis.

Hasil-hasil penelitian diatas semakin  membuktikan bahwa dalam   kegiatan pembelajaran bahasa serta dalam kehidupan  sehari-hari, menyimak memegang peran yang sangat penting dan dominan.

Fuad effendi[3] mengatakan bahwa salah satu prinsip linguistik menyatakan bahwa bahasa itu pertama-tama adalah ujaran, yakni bunyi-bunyi bahasa yang diucapkan dan bisa didengar. Maka, atas dasar prinsip tersebut,  beberapa ahli pengajaran bahasa menetapkan satu prinsip bahwa pengajaran bahasa harus dimulai dengan mengajarkan aspek-aspek pendengaran dan pengucapan (ranah lisan) sebelum membaca dan menulis (ranah tulisan). Bahkan ada aliran yang menyatakan dengan tegas bahwa urutan keterampilan bahasa yang akan disampaikan kepada para siswa harus mengikuti urutan secara hirarkis : istimā – kalām – qirāah – kitābah.

Dengan demikian, pembelajaran keterampilan menyimak (mahārat al-istimā’) merupakan  pengalaman belajar yang amat penting bagi para siswa dan seyogyanya mendapat perhatian sungguh-sungguh dari pengajar.

Berkaitan dengan pentingnya mendahulukan pembelajaran istimā sebelum keterampilan bahasa lainnya, Ahmad Fuad Mahmud ‘Ilyan[4] mengemukakan beberapa alasan berkaitan dengan fungsi indera pendengaran dibanding dengan indra lainnya. Menurut beliau bahwa:

(1)     Indra pendengaran manusia yakni telinga merupakan alat interaksi manusia yang pertama berfungsi pasca kelahirannya. Beberapa ahli menyebutkan bahwa Indra pendengaran manusia mulai berfungsi pada hari ketiga pasca kelahiran. Sedangkan indra penglihatan manusia mulai berfungsi pada hari ketujuh pasca kelahiran.

(2)     Indra pendengaran manusia yakni telinga dapat berfungsi di semua arah. Dalam arti, manusia dapat mendengar suara-suara, baik yang berasal dari arah belakang, depan, sebelah kanan, sebelah kiri, bahkan dari dari tempat yang relatif jauh sekalipun tanpa melihat sumber suara tersebut.

(3)     Indra pendengaran manusia yakni telinga dapat berfungsi, baik dalam keadaan sadar maupun tidak sadar. Hal ini terjadi karena telinga tidak memiliki tutup sebagaimana yang ada pada mata. Di mana, pada saat tidur, kelopak mata akan menutup mata, sehingga mata tidak dapat berfungsi.

Pendengaran merupakan indra terpenting bagi manusia. Sebab, dengan mendengarkan manusia dapat berbicara, dapat mengaktualisasikan dirinya serta dapat mempelajari banyak hal. Dengan mendengarkan pula, manusia dapat menggapai apa yang ia inginkan. Pantaslah bila ada yang mengatakan bahwa, “disfungsi yang terjadi pada indra pendengaran dapat menimbulkan miskomunikasi”. Oleh sebab itu, bila seorang bayi lahir dengan indra pendengaran yang cacat, ada kemungkinan kemampuan berbicaranya juga akan terhambat, bahkan bisa saja bayi tersebut tak dapat bicara (bisu).

Kamal Ibrahim Badri[5] mengemukakan bahwa dalam pembelajaran bahasa Arab sebagai bahasa Asing ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan oleh para guru. Menurutnya, paling tidak, ada lima prinsip penting dalam pembelajaran bahasa Arab, yaitu: Aulawiyat al-taqdim (Prinsip Prioritas), Al-diqqah (Prinsip Akurasi), Al-tadarruj (Prinsip Gradasi), unshur al-tasywiq (Prinsip Pemberian Motivasi), dan Al-shalabah wa al-matanah (Prinsip Validasi).

Yang termasuk kedalam prinsip Prioritas, diantaranya adalah: Menyimak dan bercakap lebih didahulukan dari pada latihan membaca dan menulis; Mengajarkan kalimat lebih didahulukan dari pada mengajarkan kata; Mengajarkan kosa kata yang sering dipakai/berfrekwensi tinggi harus lebih didahulukan sebelum kosa kata yang lainnya.

Walaupun  kegiatan dan keterampilan menyimak  memiliki peran yang sangat besar dalam program pembelajaran bahasa Arab, namun pembelajaran menyimak di sekolah-sekolah sampai saat ini belum mendapat perhatian yang memadai. Hal itu sedikit banyaknya, sebagaimana dikatakan oleh Fadhil Fathy Muhammad Waly[6] dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut:

  1. Missinterpretasi terhadap ciri khas kegiatan menyimak, urgensi serta pengaruh menyimak terhadap keterampilan bahasa lainnya.
  2. Adanya persepsi yang mengklaim bahwa keterampilan menyimak berkembang dengan sendirinya secara bertahap seiring perkembangan manusia mulai fase anak-anak hingga fase dewasa.
  3. Adanya teori sebagian pakar yang mengklaim bahwa keterampilan menyimak sudah include dalam keterampilan membaca. Sehingga, para pakar tersebut mencetuskan teori read to listen.
  4. Minimnya para peneliti dan pemerhati yang melakukan studi terhadap keterampilan serta pengaruh menyimak terhadap keterampilan bahasa lainnya.
  5. Minimnya pengalaman para pengajar bahasa, sehingga mereka hanya mau mengajarkan bahasa seperti saat mereka belajar puluhan tahun yang lalu[7].

Kalau kita perhatikan, buku-buku teks pelajaran bahasa Arab yang ada dan beredar di sekolah-sekolah kita, dari tingkat dasar sampai tingkat perguruan tinggi, khususnya yang ditulis oleh penulis pribumi (orang Indonesia), masih sangat jarang yang memuat materi pelajaran istimā’ secara khusus.

Perhatian terhadap pembelajaran istimā’ baru mengemuka sejalan dengan diterapkannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006, yang realisasinya untuk mata pelajaran Bahasa Arab, terdapat pada Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dan Standar Isi (SI) sesuai Permenag no. 2. Tahun 2008[8]. Pada kurikulum KTSP ini, keterampilan menyimak termasuk salah satu Standar Kompetensi mata pelajaran bahasa Arab yang harus dikuasai oleh siswa pada tiap satuan pendidikan (MI, MTs, dan MA).

Kondisi seperti ini, berdasarkan pengamatan penulis di beberapa MTS dan MA di Kota dan Kabupaten Cirebon, membuat para guru masih kebingungan dalam mengimplementasikan kegiatan untuk pembelajaran keterampilan menyimak. Selain karena belum adanya panduan pembelajaran keterampilan menyimak dalam buku ajar yang digunakan selama ini, juga karena minimnya pengalaman sebagian guru bahasa Arab untuk mengembangkan sendiri model pembelajaran keterampilan menyimak. Sehingga jalannya pembelajaran menyimak, hampir tidak ada bedanya dengan pembelajaran berbicara dan membaca, karena materi atau bahan ajar menyimak yang disediakan dalam buku ajar yang menjadi rujukan mereka sulit dimplementasikan, karena penyajian bahan ajar menyimak dalam buku-buku tersebut sama saja dengan  bahan ajar berbicara atau membaca[9].

Untuk memberikan gambaran dan panduan dalam kegiatan pembelajaran keterampilan menyimak bagi para guru bahasa Arab, para mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Arab (PBA), dan para pemerhati serta praktisi pembelajaran Bahasa Arab pada umumnya, di bawah ini akan diuraikan beberapa hal yang berkaitan dengan pembelajaran keterampilan menyimak, seperti: Hakekat istimā’, Tujuan Pembelajaran istimā’,  Sarana/media Pembelajaran istimā’, Teknik Pembelajaran istimā’, Materi Pembelajaran istimā’, Peran Guru dalam Pembelajaran istimā’, , dan  Evaluasi Pembelajaran istimā’.

Bersambung……


[1] Fadhil Fathy Muhammad Waly. 1998.Tadris al-Lughah al-Arabiyyah Fy al-Marhalah al-Ibtida’iyyah: Thuruquhu, Asalibuhu, Qadhayahu. Ha’il: Dar al-Andalus Li al-Nasyr wa al-Tauzi’. Hal. 145

[2] Djago Tarigan dan Henry Guntur Tarigan. 1986. Teknik Pengajaran Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa. Hal. 48.

[3] Ahmad Fuad Effendy. 2004. Metodologi Pengajaran Bahasa Arab. Malang: Misykat. Hal. 100

[4] Ahmad Fuad Mahmud ‘Ilyan. 1992. Al-Maharat al-Lughawiyah: Mahiyatuha wa Thara’iq Tadrisiha. Riyadh: Dar al-Muslim Li al-Nasyr wa al-Tauzi’. Hal. 49

[5] Lihat, Badri, Kamal Ibrahim. 1407. Usus Ta’lim al-Lughah al-Ajnabiyah dalam Mudzakarat al-daurat al-tarbawiyah. Al-Mamlakah al-Arabiyah al-Su’udiyah, Jami’at al-Imam Muhammad bin Su’ud al-Islamiyah, Ma’had al-Ulum al-Islamiyah wa al-Arabiyah bi Indunisia, hal. 3

[6] Fadhil Fathy Muhammad Waly, ibid. Hal 144

[7] Lihat juga Rusydi Ahmad Thaa’imah. Al-Marji’ Fy Ta’lim al-Lughah al-Arabiyyah Li al-Nathiqin Bi Lughat Ukhra. Juz. 2. Makkah: Jami’at Umm al-Qura. Hal 419-420.

[8] Lihat Permenag no. 2. Tahun 2008 tentang Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi

[9] Berdasarkan pemantauan penulis, mayoritas MTS dan MA di Kota dan Kabupaten Cirebon menggunakan LKS sebagai satu-satunya rujukan dan pegangan siswa dalam pembelajaran bahasa Arab.

Tinggalkan komentar